Tanggal 9 Agustus lalu adalah hari pertama aku dan teman-temanku berangkat ke NTT untuk
melaksanakan program pertama kami : NTT MEMBACA. Kala itu aku dan teman-temanku berangkat dari
bandara Soekarno Hatta pada pukul 2.30 WIB dini hari. Perasaanku saat itu tidak bisa digambarkan.
Senang, takut, gugup, semua campur jadi satu. Tapi saat itu aku yakin, ini adalah awal yang baik bagi
perjalanan NTT Youth Project. Pukul 2.30 tepat, pesawat kami lepas landas meninggalkan bandara
Soekarno Hatta. Bye Jakarta, see you East Nusa Tenggara!
Perjalanan yang kami tempuh cukup memakan waktu. Sebenarnya total waktu perjalanan dari Jakarta
ke NTT hanya sekitar 4 jam, hanya saja karena harus transit dahulu di Kupang selama kurang lebih 7 jam,
maka perjalanannya pun menjadi sangat lama. Pukul 6.30 WITA, aku dan teman-temanku ; Evan, Vito,
dan Reyhan, sampai di bandara El Tari, Kupang. Saat itu kami dijemput oleh salah satu teman kami,
Herma namanya. Herma mengajak kami berjalan-jalan sebentar menikmati indahnya Kupang. Kami
sempat mengunjungi salah satu pantai di Kupang yang menawarkan keindahan alam yang luar biasa.
Setelah sedikit berfoto disana, kamipun lanjut mencari makan siang dan segera kembali ke bandara.
Pukul 12.45 WITA pesawat kami kembali lepas landas menuju bandara Frans Seda, Maumere. Perasaan
dalam hatiku pun semakin berkecamuk mengingat aku semakin dekat dengan tempat tujuan.
Sekitar pukul 14.00 WITA kami tiba di bandara Frans Seda dan langsung dijemput oleh seorang paman
dari anggota tim kami, Unan, yang hari itu berhalangan terbang bersama kami. Om Ady, begitu kami
menyapanya, segera tancap gas mengantarkan kami ke rumah Unan di Lokaria. Saat itu tengah ada
arisan keluarga. Wow, suatu hal yang sudah sangat jarang aku temukan di Jakarta, bahkan keluargaku
sendiripun jarang melakukan arisan keluarga. Hehe. Dalam arisan keluarga, seluruh keluarga besar
berkumpul dan makan bersama di salah satu rumah yang sudah ditentukan. Yang lebih menarik,
ternyata arisan keluarga ini biasa dilakukan sebulan sekali. Wow! Erat sekali ya hubungan antar keluarga
mereka. Setelah sedikit berbincang sambil makan dan mencoba minuman khas NTT, Moke, kamipun
diantar ke kamar untuk sedikit beristirahat. Aku punya kamarku sendiri, sedangkan Vito dan Reyhan satu
kamar, dan Evan akan satu kamar juga dengan Unan. Kamipun beristirahat sejenak.
Esok harinya, karena kami belum ada kegiatan sama sekali, kamipun berpikir untuk menjelajah
Maumere. Untung saja saat itu adik Unan, Jaqualine, sedang pulang liburan di NTT. Jadi saja dia
mengerahkan teman-temannya untuk berjalan-jalan bersama kami ke Pantai Koka, salah satu pantai
yang sangat terkenal di Maumere. Dengan motor sewaan kamipun segera berangkat kesana. Begitu
sampai disana, mataku tak mampu berkedip memandangi keindahan alam yang luar biasa di hadapanku.
Pantai Koka dengan pasir putihnya serta teluk dan karang-karangnya menyita perhatianku untuk waktu
yang cukup lama. Pantai ini seperti pantai yang belum terjamah. Pasirnya masih putih dan sangat bersih.
Benar-benar investasi pariwisata yang sangat menjual. Kamipun bermain-main santai di Pantai Koka
hingga sore tiba. Begitu sore tiba, kami kembali ke rumah Unan di Lokaria.
Hari berikutnya Unan pun tiba di NTT. Kamipun memulai kegiatan kami untuk bertemu dengan pihak-
pihak terkait. Disana kami mengunjungi Rektor UNIPA, lalu kami pergi juga ke Dina Badan
Pemberdayaan Masyarakat (BPM) , ke bagian Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), dan ke Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga serta ke Dinas Perpustakaan. Tak lupa juga kami bertemu dengan
Wakil Bupati dalam rangka membicarakan program NTT MEMBACA. Senang sekali menyadari bahwa
program kami ini disambut dengan sangat baik oleh seluruh pihak. Ketakutan yang kumiliki pun
berangsur hilang terganti dengan rasa sukacita.
Akhirnya tanggal 19 Agustus, buku-buku kami sampai di Maumere. Kamipun langsung mengerahkan
segenap tenaga untuk memilah buku-buku tersebut sesuai genre dan membagi jumlahnya agar rata
terbagi untuk 5 desa. Tanggal 20 Agustus kami mulai mengeksekusi desa pertama kami, yaitu Desa
Ojang. Menjelang sore, kami tiba di Desa Ojang. Disana kami disambut dengan baik oleh Bapak Kepala
Desa dan juga Ibu Sekretaris Desa, Mama Maria Fransiska. Kamipun bermalam di rumah Mama Maria.
Sungguh hangat sambutan yang kami dapat disana. Kami berkenalan dengan anak dari Mama Maria, Kak
Stanis, dan ayah dari Mama Maria, yang biasa disebut Bapak Ojang, yang sudah berumur 93 tahun.
Namun di balik umurnya yang sudah lanjut, Bapak Ojang masih sangat tegap dan gagah. Kedekatan kami
dengan keluarga Mama Maria berawal sejak pertama kami menginjakkan kaki di rumah itu. Kami
menginap selama 2 malam disana. Sungguh keluarga yang sangat hangat. Banyak cerita yang terlontar
setiap malam kami duduk makan bersama. Mama Maria adalah seseorang yang sangat bersemangat dan
tegas. Sungguh sosok wanita yang patut dikagumi! Esok harinya pun kami mulai menggarap program
kami dengan mulai merangkai lemari-lemari yang akan diletakkan di perpustakaan dan merapikan buku-
buku yang kami bawa. Setelah itu, kami lanjutkan dengan kegiatan anak-anak, yakni mendongeng,
mewarnai, dan kelas melipat kertas , serta forum pemuda, dimana di dalamnya kami membahas
pentingnya membaca dan generasi muda harus kaya akan pengetahuan lewat membaca. Karena tujuan
awal untuk 6 bulan ke depan dari program NTT Membaca ini terfokus pada suksesi perpustakaan, maka
kamipun mencoba menstimulus anak-anak dan pemuda untuk mulai merasa tidak asing lagi dengan
buku lewat kegiatan yang kami adakan satu hari itu. Harapan kami adalah agar seluruh warga desa,
mulai dari anak-anak hingga dewasa mulai menanggapi rasa penasaran dan haus akan ilmu pengetahuan
mereka lewat membaca di perpustakaan desa.
Setelah desa Ojang selesai, kamipun melaju ke desa Bangko’or. Disana sambutan yang didapatkan lagi-
lagi tidak mengecewakan. Kami bermalam di tempat Bapak BPD, yaitu Bapak Asimundus. Keluarga
Bapak Asimundus sangatlah ramah. Setiap makan pagi, siang, dan malam, kami selalu duduk bersama
dan bercengkrama sembari makan. Bapak Asi adalah sosok yang sangat hangat dan beliau menganggap
kami seperti anaknya sendiri. Bahkan ketika kami pulang ke Lokaria, Bapak Asi menyewakan mobil untuk
mengantar kami. Bayangkan, kami diantar seluruh keluarga besar Bapak Asi. Hanya saja, sayang sekali
Bapak Asi tidak dapat ikut karena beliau harus menjaga rumah. Namun sebelum kami pergi, sempat
terlihat butiran air mata membasahi sudut matanya. Mengharukan sekali. Oh dan tak lupa, seperti di
Desa Ojang, sambutan dan minat masyarakat akan perpustakaan desa yang kami bangun disanapun
terlihat tinggi sekali. Anak-anak banyak yang datang dan antusias mengikuti kelas yang kami adakan.
Pemudapun banyak yang datang untuk terlibat dalam forum. Sungguh membahagiakan!
Setelah Desa Bangkoor selesai, kamipun pulang sehari ke Lokaria untuk kemudian esoknya melanjutkan
perjalanan ke desa Poma. Dari awal kami di NTT, orang-orang yang mendengar bahwa salah satu desa
tujuan kami adalah desa Poma pasti akan langsung berkata, ‘Aduuuh Tuhan, ngeri sekali!’. Mereka
banyak menceritakan tentang perjalanan menuju desa Poma yang sangat menantang. Dari jalannya
yang terjal dimana sekelilingnya hanya ada jurang. Kami sempat gentar, tapi tidak sampai
mengurungkan niat kami menjamah desa tersebut. Akhirnya dengan mobil yang dipinjamkan oleh Dinas
Kehutanan, kamipun bersama-sama menuju desa Poma. Awal-awal memang sangat mengerikan.
Terlebih saya dan kawan-kawan memilih duduk di belakang untuk menikmati pemandangan. Namun,
ketakutan akan jalan yang rusak ternyata tidak terbukti! Jalan menuju desa Poma sudah dibeton semua
dan sudah bagus. Memang sih, samping-sampingnya masih jurang, namun justru itu serunya! Tapi ada
satu bagian yang menurut saya paling seru dan mencekam, yaitu saat kami dikejar kabut. Karena desa
Poma adalah desa yang terletak di atas gunung, maka ketika sore mulai tiba, kabutpun mulai turun.
Kami menempuh perjalanan yang cukup panjang dan ketika waktu mulai menunjukkan pukul 5.30 WITA
kamipun belum sampai juga di desa Poma. Malam pun mulai nampak dan langitpun mulai gelap. Jalan
mulai sudah tidak terlihat karena kabut mulai turun. Kami hanya diterangi cahaya lampu mobil dan
setiap mobil kami melaju kami merasa kabut menutupi jalan yang sudah kami lewati! Menegangkan
sekali, rasanya seperti ada di film horor! Tapi akhirnya kamipun sampai di desa Poma dengan selamat.
Sesampainya disana kami langsung disambut oleh Bapak Kepala Desa dan keluarga dan kamipun
menginap disana. Seperti biasa, kami langsung terlibat perbincangan hangat malam itu. Kami duduk dan
makan bersama di dapur sambil berbincang. Ada kebiasaan yang dimiliki oleh orang-orang di desa ini,
terutama oleh para wanita, yaitu bahwa sehabis makan pasti harus langsung mengunyah siri pinang.
Bahkan mereka selalu membawa tas kecil untuk menyimpan siri pinang. Lucu sekali bukan? Jadi yang
dimaksud siri disini adalah buah dari pohon sirih, bentuknya panjang dan rasanya persis seperti daun
sirih. Siri akan ditumbuk bersama dengan pinang lalu kemudian dikunyah dengan sedikit kapur dan
mereka akan berubah warna menjadi merah darah. Aku sempat mencoba sedikit karena penasaran
dengan rasanya. Ternyata, pedas sekali!! Cukup sekali aku coba itu hehe. Yang paling menarik dari desa
Poma adalah tanahnya yang gembur. Tanpa pupukpun bibit yang ditanam disana akan langsung tumbuh
besar. Bayangkan, pagi-pagi saat sarapan kami sempat lihat selada yang baru saja diambil dari kebun
dan selada itu panjang sekali. Luar biasa bukan? Sayur yang kami makan pun semua masih segar karena
benar-benar baru saja dipetik. Sehat dan terbebas dari pestisida. Di desa ini, perpustakaan kami
diletakkan di sekolah untuk mempermudah warga desa dalam mengakses perpustakaan. Kegiatan anak-
anakpun kami lakukan di SD setempat dan anak-anak di desa ini memiliki potensi yang sangat tinggi di
bidang mewarnai. Aku sampai bingung menentukan 3 terbaik. Tapi aku melihat semangat yang luar
biasa di mata anak-anak ini. Walau hidup di desa yang sangat jauh dari kata modern, tanpa listrik dan
tanpa sinyal, namun semangat mereka untuk selalu sekolah tidaklah padam. Mengharukan sekali!
Seselesainya dari Desa Poma, kami melanjutkan perjalanan ke Desa Wolodhesa. Disana kami tinggal di
rumah Bapak Kepala Desa, yakni Bapak Benyamin Bande. Di rumah Bapak Benyamin kami berkenalan
dengan Nenek, Mama, dan yang lainnya. Ada satu kejadian yang sangat menarik di desa ini. Saat
kedatangan kami kesana, yaitu 28 Agustus 2015, tidak sengaja salah satu teman kami, Reyhan,
membaca papan yang ada di kantor desa yang menuliskan tanggal lahir Bapak Benyamin. Ternyata
beliau baru saja berulang tahun tanggal 27 Agustus, tepat sehari sebelum kedatangan kami! Langsung
saja kami rencanakan setelah perpustakaan selesai kami rapihkan, kami akan merayakan ulang tahun
Bapak. Rey dan Evan langsung meluncur membeli kue ulang tahun, sementara aku, Vito, dan Unan
menunggu di rumah. Akhirnya selepas makan malam, kamipun memberikan kue itu sebagai kejutan ke
Bapak. Bapak senang sekali! Kami juga turut senang melihat Bapak bahagia. Esoknya kami diundang
untuk datang ke acara peresmian Kepala Sekolah baru yang ada di SD setempat. Disana kami
menyaksikan proses peresmian Kepala Sekolah dan acara dilanjutkan dengan makan-makan. Setelah
makan, kamipun tidak langsung pulang, melainkan disuruh menari dulu! Kami diajari tari Ja’i dan setelah
acara hampir usai, barulah kami melanjutkan kembali perjalanan ke desa terakhir, Desa Tilang.
Kami tiba di Desa Tilang pada sore hari. Sayangnya saat kami tiba, Kepala Desa sedang berada di luar
desa karena ada keperluan. Akhirnya kamipun tinggal dirumah ibu Wakil BPD, Mama Sinta. Mama Sinta
adalah sosok yang sangat riang dan pintar. Kami senang sekali berbincang dengan beliau. Selain itu
masakannya juga enak sekali. Namun Mama Sinta ini adalah sosok yang sangat rendah hati. Setiap dipuji
pasti saja beliau langsung merendahkan diri. Di desa ini, jumlah anak-anak yang datang ke perpustakaan
adalah yang paling banyak. 92 orang bayangkan!! Senang sekali rasanya bahwa semua berpartisipasi
dalam kegiatan kami. Disana kami juga berkenalan dengan Kak Samson, seorang aparat desa, yang
sangat baik hati dan mengajak kami kemana-mana. Di desa Tilang, ada kisah yang sangat menarik. Anak
perempuan dari Mama Sinta, yakni Kak Yoan dan Kak Ina, saat itu sedang pulang liburan kuliah. Mereka
pun mengajak kami untuk datang ke pesta dan menyaksikan bagaimana sebuah pesta sambut baru atau
yang kita kenal dengan pesta komuni pertama dihelat. Akhirnya kamipun menyanggupi untuk datang ke
pesta bersama Kak Yoan, Kak Ina, dan Kak Samson. Jadi, di Flores itu, jika sedang ada pesta maka orang
bisa datang dan bergabung walaupun tidak kenal dengan si empunya pesta! Lucu sekali bukan? Maka
kami datanglah ke pesta, makan-makan dan ikut menari. Ah senang sekali rasanya.
Setelah desa Tilang selesai, kamipun kembali pulang ke rumah Unan di Lokaria. Perasaan yang ada saat
itu tidak bisa digambarkan sama sekali. 15 hari kami menjelajah ke desa-desa, selalu ada cerita berbeda
di setiap harinya dan di setiap tempat yang kami kunjungi. Rasa haru, lelah, bahagia, sukacita, semua
bercampur menjadi satu pengalaman yang tak ternilai harganya. Baiklah sekian cerita saya mengenai
kegiatan kami di NTT kemarin. Semoga kami terus berkesempatan untuk datang kesana lagi dan semoga
program kami bisa terus berjalan lancar. Terima kasih sudah membaca catatan perjalanan kami. Akhir
kata, epan gawan! Terima kasih.
Salam,
Adisti.
Kegiatan Mewarnai di Desa Poma
Vito membantu melipat kertas
Suasana pagi di Desa Ojang
Birthday Surprise untuk Bapak Desa Wolodhesa
Keluarga di Desa Bangko'or